Dari Social Butterfly ke Silent Worker: Sebuah Transformasi Energi
Ini salah satu perubahan besar yang aku sadari betul. Dan, aku tidak menyesal mengambil putusan untuk berubah.
Dulu, aku dikenal sebagai si social butterfly. Bukan cuma karena senang ngobrol, tapi karena nyaris ke mana pun aku melangkah, ada saja yang menyapa. Koneksi itu ada di mana-mana—hasil dari bertahun-tahun kerja di perusahaan ternama, dan tentu saja, dari upaya konsisten untuk jadi orang yang hadir di setiap kesempatan.
Tapi hidup, seperti biasa, punya cara sendiri untuk mengubah kita.
Dulu, setiap ajakan ngopi, hangout, atau sekadar nongkrong absurd, pasti aku iyakan. Bahkan kalau nggak ada yang mengajak pun, aku akan jadi orang pertama yang bikin grup “ayo ketemuan, guys!”
Sekarang? Aku berhitung.
Serius, aku hitung—tenaga, waktu, bahkan kualitas percakapan yang akan terjadi.
Bukan karena aku jadi anti-sosial.
Tapi karena aku belajar: energi itu terbatas. Dan nggak semua pertemuan layak mendapat bagian dari energiku yang makin mahal ini.
Realita di Balik Senyum-Senyum Basa-Basi
Beberapa tahun terakhir, aku mulai menyadari satu pola. Terlalu banyak pertemuan yang ternyata hanya ngobrol kosong dengan harapan palsu. Apalagi yang katanya “mau kerja sama,” “bisa jadi proyek bareng,” atau “kita bangun bareng-bareng yuk.”
Hasilnya? Zonk. Hampir semuanya.
Bukan salah mereka. Mungkin mereka juga sedang cari peluang.
Tapi sayangnya, di luar sana, masih banyak yang berpikir jasa itu murah. Mereka lupa, di balik keahlian dan pengalaman, ada ribuan jam belajar dan puluhan malam begadang.
Energi: Sumber Daya yang Paling Mahal
Sekarang aku lebih selektif. Aku bilang tidak pada beberapa ajakan. Bukan karena sombong, tapi karena aku tahu apa yang butuh aku prioritaskan.
Aku fokus pada klienku yang cuma seorang tapi prospek jangka panjang.
Plus, pekerjaan kantor tetap harus jalan. Weekend project, belajar hal baru, dan menulis di sini sesekali—semuanya menanti giliran di daftar manajemen energiku.
Apakah aku kesepian?
Tidak. Prinsipku sekarang, kualitas over kuantitas.
Dan sejujurnya, aku menikmati kesendirian ini. Di dalam sunyi, aku justru produktif. Di ruang sendiri, ideku berkembang lebih liar.
Perubahan Itu Wajar
Kalau dulu aku takut dibilang berubah, sekarang aku paham: berubah itu wajar. Bahkan perlu.
Mungkin kamu juga sedang di fase yang sama. Mulai capek dengan pertemuan basa-basi. Mulai berpikir dua kali sebelum mengiyakan setiap ajakan yang datang.
It’s okay. Kamu tidak perlu takut dicap ini-itu.
Karena kadang, dalam diam dan jarang terlihat, justru kita sedang bertumbuh paling hebat.