Pandji & Prank Tak Lucu

Inilah mengapa aku tidak suka pada sosok Pandji Pragiwaksono. Hei, tidak suka boleh, 'kan? Ini opini pribadi, bukan ajakan.

Pandji & Prank Tak Lucu
Photo by Chad Stembridge / Unsplash

Ada satu titik dalam hidupku di mana aku berhenti menganggap Pandji sebagai sekadar komika. Semua paham dia lebih dari sekadar komika—figura publik, selebritas, influencer, bahkan pernah jadi semacam “sales politik”.

Sejak dia ambil bagian dalam kampanye Rumah DP 0% waktu Pilkada DKI dulu, itulah momen ketika aku memandangnya berbeda.

Awalnya, aku masih bisa memisahkan karya dan orangnya. Tapi jujur aja, susah.

Apalagi setelah kandidat yang dia dukung menang, lalu janji-janji kampanye itu—termasuk rumah impian tanpa DP—nyaris tak terdengar kabarnya.

Iya, katanya sih terealisasi, tapi jumlahnya? Penjelasannya ngambang. Penuh alasan.

Dan buatku, itu adalah awal dari sebuah kemunduran. Bukan cuma untuk Jakarta, tapi juga untuk cara berpikir masyarakat Indonesia tentang politik dan harapan.

Lalu kapan hari, TikTok tiba-tiba menampilkan wajah yang sudah lama tidak ingin kulihat. Pandji. Cerita soal kejadian waktu dia jadi juri lomba standup.

Katanya, proses penjurian yang melelahkan membuat dia ingin iseng saat lihat peserta ngantri ke toilet. Jadi, dia bilang ke salah satu peserta: kalau mau langsung lolos ke final, teriak aja “****” di atas panggung.

Dan… peserta itu beneran nurut.

Apa yang terjadi? Bukannya lolos, dia malah diamankan oleh sekuriti.

Dan Pandji? Dia cerita sambil ketawa-tawa. Menertawakan kepolosan (atau mungkin keputusasaan?) si peserta. Menertawakan trust orang lain terhadap ucapannya sendiri.

Aku, cuma bisa terheran-heran.

Itu bukan sekadar prank biasa, bro. Itu bukan sekadar “bikin lucu biar rame.”

Buatku, ini adalah gambaran utuh bagaimana Pandji memperlakukan publik: bilang sesuatu (kebohongan) dengan percaya diri, lalu ketika orang percaya, dia tertawa dari jauh dan bilang, “Lha kok percaya sih?”

Sama aja kayak cerita Rumah DP 0%, ya, Ndji?

Mungkin dulu kamu juga gak nyangka kalau bakal ada jutaan warga yang percaya janji itu. Tapi kenyataannya, banyak yang berharap. Banyak yang mimpi. Lalu ketika semua itu tak sesuai realita, kalian menghilang di balik alasan teknis dan angka yang membingungkan.

Aku paham, Pandji itu entertainer. Terkadang tugas entertainer adalah bikin kejutan, nyentil, bahkan ngagetin.

Tapi ada batasnya. Ada garis halus antara lucu dan menyakiti. Antara satire dan sinisme yang merendahkan.

Dan prank ke peserta itu, jujur aja, gak lucu. Jahat.

Ada orang yang mungkin malam itu pulang dengan rasa malu, gagal, dan kecewa—semua karena satu prank iseng dari juri yang seharusnya jadi inspirasi.

Kalau kamu bilang itu hanya bercanda, ya sah-sah aja. Tapi jangan kaget kalau banyak dari kami udah gak ketawa lagi.

Karena ini bukan soal standup. Ini tentang bagaimana kamu mempermainkan harapan orang lain, lagi dan lagi.

Dan, itu yang paling tidak bisa aku maafkan.

Oh ya, aku nggak bisa sematkan video yang kulihat di TikTok. Jadi ini saja buat barbuk. Bertambah lagi satu poin: dia menganggap rakyat Indonesia banyak yang goblok. Instead of membuat rakyat tambah pintar, dia malah memanfaatkan kegoblokan itu (untuk kepentingan dia).

Subscribe to ESVDM

Don’t miss out on the latest issues. Sign up now to get access to the library of members-only issues.
jamie@example.com
Subscribe