Manusia dan Kecerdasan Buatan

Aku aktif menggunakan ChatGPT sejak dia masih tahap uji coba. Membandingkan pertumbuhan AI yang sangat pesat, terkadang membuatku bergidik.

Manusia dan Kecerdasan Buatan
Photo by Hal Gatewood / Unsplash

Setiap kali kita membuka media sosial, membaca berita teknologi, atau sekadar ngobrol dengan teman yang “tech-savvy”, satu kata selalu muncul: AI.

Dulu, Artificial Intelligence (AI) hanya sebatas imajinasi di film-film sci-fi. Tapi sekarang? Ia sudah hadir di keseharian kita, menemani kita bekerja, membuatkan gambar, menyusun video, bahkan… membantuku menulis artikel ini.

OpenAI, Gemini, DeepSeek, Claude, Manus….

Mereka adalah para “otak digital” yang saat ini berlomba di arena AI global. OpenAI dengan ChatGPT-nya, Google melalui Gemini, DeepSeek dari China yang mulai unjuk gigi, Claude dari Anthropic yang terkenal kalem tapi tajam, hingga Manus yang fokus pada kemampuan coding dan reasoning.

Mereka berkembang bukan mingguan—tapi harian. Setiap hari kita disuguhkan dengan upgrade:

  • Gambar AI yang makin realistis
  • Video yang makin sinematik
  • Suara yang makin natural
  • Dan reasoning yang makin mendekati cara berpikir manusia

Kemajuan AI di satu sisi, menyeramkan. Kalau dulu butuh fotografer, pencahayaan, properti, dan model untuk bikin satu gambar aesthetic, sekarang tinggal ketik:

"Seorang wanita berkacamata duduk di taman membaca buku, golden hour lighting, gaya anime."

Dan boom — dalam hitungan detik muncul hasilnya. Seperti ini.

Dibuat menggunakan ChatGPT-4o

AI generatif seperti Runway, Midjourney, dan Sora mampu menciptakan dunia baru dari teks. Bahkan, beberapa kreator bisa buat film pendek cukup dari ide yang kita ketikkan.

Ini adalah kemajuan yang luar biasa. Bisa dibilang: ajaib.

Harga yang Harus Kita Bayar

Di balik kemudahan, muncul kebiasaan baru: ketergantungan.

Banyak dari kita mulai malas mikir.

  • "Ngapain ngoding? Kan ada AI."
  • "Nggak usah riset, tanya aja ke ChatGPT."
  • "Ngapain belajar desain, gambar aja pakai prompt."

Padahal, AI belum sempurna. Ia bisa salah. Ia bisa ngaco. Bahkan kadang yakin banget sama jawabannya yang salah total.

Dan yang lebih bahaya: manusia mulai kehilangan kemampuan dasar yang dulu kita perjuangkan untuk kuasai.

AI: Otak Super Cepat yang Masih Bayi

Kita sering lupa: ChatGPT, misalnya, baru “lahir” tahun 2022. Usianya baru dua tahunan.

Bayangkan, ia masih “balita digital”.

Tapi dalam waktu sesingkat itu, ia sudah menguasai ribuan bahasa, bisa menjelaskan fisika kuantum sekaligus menulis puisi, bantu bikin skrip TikTok, dan mengerti jokes receh ala bapack-bapack.

Kalau kita bandingkan, manusia butuh belasan tahun untuk mencapai itu semua. Tapi AI? Belajar dalam hitungan minggu.

Jelas beda AI dengan manusia. AI tidak pernah tidur. Tidak lelah. Tidak punya emosi.

Yang jadi pertanyaan: Kalau otak bayi ini terus tumbuh, apakah dia akan melampaui kita?

Ini pertanyaan besar yang sedang kita hadapi.

Kita sedang hidup di masa transisi, ketika manusia harus memilih:

  • Akan tertindas oleh kecepatan dan kecerdasan AI
  • Atau menggunakan AI untuk menjadi lebih unggul, lebih cepat, dan lebih adaptif dari sebelumnya

AI bukan Tuhan. Ia alat.

Sama seperti komputer, mesin cetak, atau internet — yang dulunya ditakuti, tapi akhirnya dipakai semua orang.

Tinggal pilihannya: kita mau jadi korban perubahan?

Atau kita jadi pengendali gelombang perubahan itu?

Mungkin saja, kita tidak bisa mengalahkan AI dalam kecepatan berpikir. Tapi kita punya sesuatu yang belum dimiliki mesin: insting, empati, dan kesadaran diri. (Ah, betapa menakutkannya kata "belum" itu!)

Jika kita bisa menggabungkan AI dengan kekuatan manusia—bukan menggantikan, tapi menyempurnakan—maka kita tidak sedang menciptakan pesaing. Kita sedang menciptakan versi terbaik dari diri kita.

Jadi, pertanyaannya bukan lagi “Apakah AI akan menggantikan kita?”

Tapi: “Siapa yang akan lebih unggul: manusia yang pakai AI atau manusia yang tidak?”

Jawabannya ada pada pilihan kita hari ini.

Subscribe to ESVDM

Don’t miss out on the latest issues. Sign up now to get access to the library of members-only issues.
jamie@example.com
Subscribe